MAFIA DANA HIBAH

MAFIA DANA HIBAH

Modus-modus operandi korupsi terhadap dana hibah sudah bukan rahasia umum lagi. Korupsi terstruktur terhadap anggaran dana hibah dan atau bantuan sosial (bansos) dari APBD yang sejatinya untuk menunjang capaian program pemerintah daerah dan pelaksanaannya diatur oleh Permendagri No. 14 tahun 2016 itu, dilakukan secara berjamaah oleh suatu jaringan internal mafia organisasi. Disebut sebagai mafia organisasi, karena para pelaku korupsi adalah oknum-oknum yang merupakan inti pengurus organisasi. Mereka bergerak mulai dari pembaharuan atau penataan baru organisasi, merekrut tokoh pemerintah atau yang dekat dengan penguasa, untuk dijadikan bemper atau bunker kejahatan terselubung mereka.

Bahkan para oknum tersebut akan menghalalkan segala cara, seperti berani melanggar AD-ART guna mencapai tujuan biadab mereka, mengumpulkan pundi-pundi uang untuk kepentingan pribadi dan kelompok mereka. Misalnya dalam suatu orgasisasi “Gerakan” di situ jelas ditentukan dalam AD/ART, bahwa Ketua Majelis Pembimbing tidak boleh merangkap sebagai Ketua Pengurus Organisasi/ Gerakan, tetapi karena Ketua Majelis Pembimbing adalah seorang pejabat pucuk pimpinan wilayah/ penguasa, maka demi lancarnya aliran dana hibah/ bansos tersebut, para oknum menetapkan dalam suatu Rapat/ Musyawarah/ Konggres yang terlihat resmi, menjadi Ketua Pengurus Organisasi/ Gerakan. Kejahatan korupsi yang tersusun rapi, mulai dari penetapan pucuk pimpinan organisasi, sampai proses pengajuan dan pencairan dana hibah, yang nyaris tanpa hambatan berarti. Culas dan licik memang, tetapi fenomena itu nyata terjadi di mana-mana, bahkan di suatu organisasi/ gerakan yang semestinya terbebaskan dari belenggu korupsi.

Di sisi lain, pihak-pihak yang mengkiritisinya dan ingin melindungi “Pejabat” yang diperalat oknum-oknum mafia organisasi tersebut, malah oleh para oknum dituduh ingin melawan “Pejabat” tersebut. Seolah ingin menjatuhkan martabat Pejabat yang sedang menjabat. Padahal cepat atau lambat, pasti Pejabat tersebut akan terjerat kasus korupsi lantaran tidak cepat sadar dirinya diperalat, menggelontorkan dana hibah yang tidak akuntabel dan sarat dengan motif korupsi. Dalam hal mencium indikasi korupsi dana hibah/ bansos tersebut aparat penegak hukum akan cukup mudah menemukan bukti awal dan kelengkapan alat bukti. Terlebih di jaman transparansi sekarang ini.

Misalnya terkait dengan penyalahgunaan dana hibah Milyaran rupiah pada salah satu Kwartir Daerah (Kwarda) dan Kwartir Cabang (Kwarcab) Gerakan Pramuka, Bareskrim Polri / Polda meyakini ada penyalahgunaan terkait dana hibah tersebut, sehingga Polri / Polda akan bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana hibah / bansos tersebut. Motif dan modusnya beragam, seperti mark up anggaran, kuitansi dan nota fiktif, hingga untuk keperluan kampanye pilkada, pertanggungjawaban pengeluaran biasanya tidak didukung bukti yang lengkap dan waktu penyampaiannya pun berlarut-larut akibat pembuatan SPJ fiktif yang memakan waktu. Kasus korupsi sudah terjadi sejak perencanaan hingga pelaksanaannya.

Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pernah melakukan penelitian potensi penyelewengan dana hibah. Dalam penelitian tersebut terdapat 144 instansi/ organisasi/ lembaga masyarakat terindikasikan korupsi. Praktik ini dinilai sangat rawan menjadikan dana hibah sebagai bancakan dan berpotensi merugikan keuangan daerah, sehingga FITRA melaporkan temuan tersebut ke KPK agar ditindak lanjuti. Selain proses penganggaran dana hibah tanpa melalui prosedur yang berlaku, lembaga titipan dari penguasa juga menjadi salah satu motif yang melatarbelakangi praktik ini. Hal ini terjadi dalam kasus korupsi dana hibah yang menjerat para pejabat seperti Gubernur / Walikota / Bupati. Untuk itu diharapkan segera berbenah kembali ke jalan yang benar, sebelum terlambat. Karena kalau belum terbongkar dan tertangkap, tinggal menunggu waktu saja. (HSB-WIPREDNEWS-007/ T-357).